Jumat, 01 Agustus 2008
PANCARONA
hijau bermula
masih musa usia berdua
bergantung suka
bersandar rasa
masih terbatas sungkan
merah merekah
berani menantang amarah
biar susah hati lepas
lekat karena menjura
dahulu memberi senyum
kuning melintang
lagi teradu hati memilih
adakah esok semanis mimpi
ragu ada mengisi kalbu
memilah langkah tiap jejak
coklat terpilih
terasa makin manis
bila hangat tiada diredam
benar bila benar
tak ragu mengaku
emas sejati
berkilau terpana surya
memantul tiada terserap
berdiri dalam pancawarna
hendak lewat pancaharap
[140608]
Kamis, 31 Juli 2008
me 3.10
isak pertama di buaian
cinta pertama di dekapan
jejak pertama di topangan
tawa pertama di bunda
ajar pertama di ayahanda
pertama berganti-ganti tiga
merangkai simpul-simpul mandiri
pergi mencari tumpuan
berjuang menjadi pemuka
tercapai dalam berbagai duri
bersatu, bersaudara, mandiri di kota tua
menggenggam trisula bakti
menggelar kreasi diri
datang dan pergi mendirikan janji
pergi dan datang membongkar bukti
bersama mencoba dewasa
bergurau di masa muda
ria berakhir cita-cita
hujan datang menyambut
petir pergi menghantar
bersua dan berpisah
datang dan pergi
menggapai gelar
meraih mimpi
senyum datang menyemai damai
melepas beban ketika sekarat
mendinginkan hangatnya emosi
menghangatkan dinginnya hati
dalam pusaran sehari-hari
menanti trinitas
cinta pertama di dekapan
jejak pertama di topangan
tawa pertama di bunda
ajar pertama di ayahanda
pertama berganti-ganti tiga
merangkai simpul-simpul mandiri
pergi mencari tumpuan
berjuang menjadi pemuka
tercapai dalam berbagai duri
bersatu, bersaudara, mandiri di kota tua
menggenggam trisula bakti
menggelar kreasi diri
datang dan pergi mendirikan janji
pergi dan datang membongkar bukti
bersama mencoba dewasa
bergurau di masa muda
ria berakhir cita-cita
hujan datang menyambut
petir pergi menghantar
bersua dan berpisah
datang dan pergi
menggapai gelar
meraih mimpi
senyum datang menyemai damai
melepas beban ketika sekarat
mendinginkan hangatnya emosi
menghangatkan dinginnya hati
dalam pusaran sehari-hari
menanti trinitas
TIAP JEJAK
Tiap langkah menjejak
Meninggalkan tapak
Tiap impian digapai
Membutuhkan api
Tiap angan digadang
Meninggalkan tentang
Jalan lurus tak selalu mulus
Kadang penuh lubang dan gelombang
Jalan elok tak harus berbelok
Terkadang cukup lapang
Tujuan diawali arah
Arah dimulai dengan asa
Asa tiba dari rasa
Rasa terwujud dari ragakata
Kataku
Katamu
Katanya
Kata kita
Kata mereka
Tiap kata menyatukan rasa
Rasa menggumpal menjadi asa
Bila matang, asa melahirkan arah
Arah memberi tujuan
Disini aku menjejak
Mengikuti, menggapai, menggadang tujuan
Menghiraukan tapak, api, dan tentang
Karena aku ada, disini
Selasa, 29 Juli 2008
D E K A D E
langkah perdana, penanda mula
jejak tapak menjadi ada
menapaki batu harap
menjejaki tumpuan gegap
menumpuk rasa suka
mencerai amarah luka
sehasta, selangkah
maka kini,
dasa hasta, dasa langkah
ekahasta
kota hujan penuh gelegar
menghajar dan mengajar
beri arti dalam gemetar
biar nanti tak jadi gentar
dwihasta
membebat luka lama
oleh tabib yang sama
tapi tak tahan lama
trihasta
menerima panji
memberi janji
dalam visi kita bermisi
untuk berbagi arti
caturhasta
genap masa tapa
empat hasta mengasah logika
pancahasta
mengurai masa menanti
menerima janji, mencari bukti
berbaris dalam antri
menanti berarti bagi negeri
sathasta
menggubah lagu baru
bejudul 'ragu-rindu'
terkadang merdu-parau
kerap pula sengau-lesu
bukan karna beribu galau
hanya karna rancu kalbu
saptahasta
menggenggam bangku sabda
tempat menopang, menyebar makna
menabur harap bagi mereka
yang kehilangan warta suka
astahasta
tak henti bermimpi lagi
menanti yang abadi
biar bertabur duri,
pada dini hari
tetap berani meniti hari
navahasta
semimpi, tak selasar
searah, pisah titian
segandeng, lain gendang
sepikir, beda nalar
sehati, tak senyali
karna sehati, rendah hati
dasahasta
tahun kan menguji bulan
bulan bersanding purnama
purnama yang telah lelap
akan bersua malam yang lenyap
bulan pun bersalin minggu
minggu menanyakan hari,
bagaimana dia menjalani jam-jam takdir
jam tepekur,
menatap menit menelan detik,
yang penuh dengan detak...
[sedekade di kota ini]
jejak tapak menjadi ada
menapaki batu harap
menjejaki tumpuan gegap
menumpuk rasa suka
mencerai amarah luka
sehasta, selangkah
maka kini,
dasa hasta, dasa langkah
ekahasta
kota hujan penuh gelegar
menghajar dan mengajar
beri arti dalam gemetar
biar nanti tak jadi gentar
dwihasta
membebat luka lama
oleh tabib yang sama
tapi tak tahan lama
trihasta
menerima panji
memberi janji
dalam visi kita bermisi
untuk berbagi arti
caturhasta
genap masa tapa
empat hasta mengasah logika
pancahasta
mengurai masa menanti
menerima janji, mencari bukti
berbaris dalam antri
menanti berarti bagi negeri
sathasta
menggubah lagu baru
bejudul 'ragu-rindu'
terkadang merdu-parau
kerap pula sengau-lesu
bukan karna beribu galau
hanya karna rancu kalbu
saptahasta
menggenggam bangku sabda
tempat menopang, menyebar makna
menabur harap bagi mereka
yang kehilangan warta suka
astahasta
tak henti bermimpi lagi
menanti yang abadi
biar bertabur duri,
pada dini hari
tetap berani meniti hari
navahasta
semimpi, tak selasar
searah, pisah titian
segandeng, lain gendang
sepikir, beda nalar
sehati, tak senyali
karna sehati, rendah hati
dasahasta
tahun kan menguji bulan
bulan bersanding purnama
purnama yang telah lelap
akan bersua malam yang lenyap
bulan pun bersalin minggu
minggu menanyakan hari,
bagaimana dia menjalani jam-jam takdir
jam tepekur,
menatap menit menelan detik,
yang penuh dengan detak...
[sedekade di kota ini]
e is a
‘pabila kugores pena mengurai makna
memilah kata demi kata
meniti aksara diantara aksara yang lain
menggali bunyi dalam sepi ketika sendiri
merangkai kembali arti hati
katakah lebih bermakna dari rasa
hadirkah lebih penting dari setia
namakah lebih berharga dari jiwa
kurajut kembali arti, helai demi helai
kukumpulkan lagi titik
walaupun hening diantara pertanda yang lain
kubilah satu diantara tiga
lengkap, penuh, sempurna
kuurai lagi…
ada ambisi dan kesabaran
sebuah paradoks, seperti senyummu
kumeniti makna kedua…
kutahu bahwa Dia memilihmu
mengikuti jejak-Nya: pemurah dan melimpah
kubuka untaian akhir
disana kulihat arti sesungguhnya
terukir dan tiada ‘kan luruh
terpahat kokoh dan megah
terpancang menembus jantung bumi
bergema lama, tiada sirna
berarti abadi
memilah kata demi kata
meniti aksara diantara aksara yang lain
menggali bunyi dalam sepi ketika sendiri
merangkai kembali arti hati
katakah lebih bermakna dari rasa
hadirkah lebih penting dari setia
namakah lebih berharga dari jiwa
kurajut kembali arti, helai demi helai
kukumpulkan lagi titik
walaupun hening diantara pertanda yang lain
kubilah satu diantara tiga
lengkap, penuh, sempurna
kuurai lagi…
ada ambisi dan kesabaran
sebuah paradoks, seperti senyummu
kumeniti makna kedua…
kutahu bahwa Dia memilihmu
mengikuti jejak-Nya: pemurah dan melimpah
kubuka untaian akhir
disana kulihat arti sesungguhnya
terukir dan tiada ‘kan luruh
terpahat kokoh dan megah
terpancang menembus jantung bumi
bergema lama, tiada sirna
berarti abadi
Senin, 28 Juli 2008
memori dan mimpi
hari ini punya dua wajah
satu ke belakang, menghadap kemarin
satu ke depan, menghadap esok
hari ini selalu meninggalkan kemarin
dan tak pernah menggapai esok
karena kemarin adalah memori
dan esok adalah mimpi
apakah cinta juga punya dua wajah: memori dan mimpi
memori bisa memendam sejuta tawa, canda dan bahagia
tetapi bisa juga memendam selaksa luka, duka dan derita
namun . . .
mimpi selalu menawarkan harapan
harapan membawakan penghiburan
walau kita hidup di hari ini
tapi selalu ada harap agar bersua esok
karna esok selalu menawarkan harapan
cinta tak boleh mati,
selayaknya esok tak akan pernah mati
karna esok selalu menawarkan bahagia
maka cinta jangan padam
masih ada esok
masih ada harapan
menerjang karang
menggurat namamu di bibir pantai
menjalin garis membentuk senyummu di kaki cakrawala
menatap buih beriak
terhempas habis ditelan pasir
menggenggam pasir putih
terlepas di sela jari
seperti hatimu yang tergenggam
namun, lepas dikala senja
gelombang menerjang karang
berulang-ulang menghujam tanpa ampun
karang tetap kokoh
dingin, tak terusik
diam diantara kejaran ombak dan gelombang
tak melawan, tak mengelak
hanya menerima
adakah engkau setegar, seteguh, sekokoh,
sediam, sedingin karang
tak jua membalas ketika ombak menyapa
karang tetap diam dan ombak terus menerjang
ada canda dan goda pabila ombak menerjang karang
karang juga tak selamanya diam
pernah pula terbahak
karang tak selamanya dingin
ada masanya dia menghangatkan pantai
dan memberi ruang bagi kehidupan
inikah masanya?
rembulan memberikan segaris senyum
adakah dia tulus dengan senyumnya
bukan tak mau tawanya penuh
mungkin masanya belum tiba
begitulah malam ini dia memberi makna
belum penuh, hanya sebilah
020703, kuta
menjalin garis membentuk senyummu di kaki cakrawala
menatap buih beriak
terhempas habis ditelan pasir
menggenggam pasir putih
terlepas di sela jari
seperti hatimu yang tergenggam
namun, lepas dikala senja
gelombang menerjang karang
berulang-ulang menghujam tanpa ampun
karang tetap kokoh
dingin, tak terusik
diam diantara kejaran ombak dan gelombang
tak melawan, tak mengelak
hanya menerima
adakah engkau setegar, seteguh, sekokoh,
sediam, sedingin karang
tak jua membalas ketika ombak menyapa
karang tetap diam dan ombak terus menerjang
ada canda dan goda pabila ombak menerjang karang
karang juga tak selamanya diam
pernah pula terbahak
karang tak selamanya dingin
ada masanya dia menghangatkan pantai
dan memberi ruang bagi kehidupan
inikah masanya?
rembulan memberikan segaris senyum
adakah dia tulus dengan senyumnya
bukan tak mau tawanya penuh
mungkin masanya belum tiba
begitulah malam ini dia memberi makna
belum penuh, hanya sebilah
020703, kuta
Langganan:
Postingan (Atom)